Header Ads

Penderitaan (Tidak) Melulu Karena Dosa

Beberapa orang berpendapat bahwa di zaman yang serba ‘menjerat leher’, zaman susah ini, bicara tentang penderitaan adalah sesuatu yang tidak menarik. “Hidup ini sudah tidak nyaman dan berat, jangan lagi bicara penderitaan, tetapi marilah bicara hal-hal yang menyukakan hati. Tentang sukses dan cerita indah menghibur!”
Pendapat ini juga menyeruak dalam hidup berjemaat. Bukankah banyak umat yang lebih tertarik pada tema sukses, berhasil, makmur, sukacita daripada mendengar khotbah bertema dosa, tanggungjawab, ‘domba di tengah serigala’, atau ‘memikul salib’. Tema penderitaan siapa yang mau mendengar? Masalah penderitaan akan selalu menjadi pertanyaan dan kebingungan bagi orang beriman sepanjang sejarah. Penderitaan adalah hal-hal buruk yang menimpa kehidupan seseorang, termasuk bencana alam, sakit penyakit, kematian, dan kejahatan.
Masalah penderitaan dapat dirumuskan dengan satu kalimat berikut: “Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa, dan mahabaik, mengapa di dunia ini ada penderitaan?” Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa dan mahabaik maka seharusnya di dunia ini tidak ada penderitaan, karena:
1. Jika Allah mahatahu, maka Ia sangat tahu bahwa penderitaan itu menyengsarakan/menghancurkan kehidupan manusia.
2. Jika Allah mahakuasa, maka Ia sangat sanggup/mampu untuk menyingkirkan penderitaan.
3. Jika Allah mahabaik, maka Ia sangat ingin/mau untuk menyingkirkan semua penderitaan di dunia ini, sehingga manusia dapat hidup nyaman dan bebas dari penderitaan.
Seharusnya, di dunia ini tidak akan ada penderitaan. Namun faktanya, di dunia ini ada penderitaan. 
MENGAPA PENDERITAAN BISA DATANG?
Penderitaan bukanlah rencana semula Allah bagi ciptaan-Nya, melainkan disebabkan oleh kehendak bebas manusia yang memilih untuk melanggar ketetapan Allah. Secara universal memang penderitaan adalah hukuman atas dosa manusia, tetapi secara pribadi lepas pribadi, penderitaan orang beriman tidaklah selalu disebabkan oleh dosanya sendiri (mis. Penderitaan Ayub).
Dalam konteks pergumulan Ayub, apakah arti kehidupan yang dapat kita pelajari? Dalam kurun waktu tertentu, setelah hartanya habis dan tubuhnya “dijamah” oleh iblis, Ayub menjalani suatu kehidupan penuh penderitaan. Sebagai manusia tentu ia tidak tahu masa depan, jadi Ayub juga tidak tahu kapan pergumulannya ini akan berakhir. Bisa saja hari esok adalah hari terakhirnya tapi bisa juga penderitaan itu akan ia tanggung bertahun-tahun. Ia menjalani hidup dalam kebutaan masa depan.
Apa yang menjadi harapan orang yang menderita seperti Ayub ini? Hidup panjang? Kematian? atau kesembuhan? Hidup panjang berarti penderitaan yang panjang. Kematian adalah “kesembuhan” yang abadi. Tetapi jika saja ia mendapatkan kesembuhan dari sakitnya, Ayub sudah tidak punya apa-apa lagi selain tubuh yang sehat. Harta dan keluarganya telah tiada. Penderitaan Ayub bukan saja oleh karena kehilangan apa yang ia miliki atau malapetaka yang telah terjadi di masa lampau. Pergumulan Ayub mencakup pengharapan tentang hari depan. Tanpa pengharapan akan hari depan manusia tidak lagi memiliki gairah untuk mempertahankan hidup.
Iblis tidak diperbolehkan oleh Tuhan menjamah nyawa Ayub. Jadi, serangan iblis kepada Ayub dibatasi hanya sampai pada tubuhnya. Iblis tahu kalau ia tidak boleh membunuh Ayub. Ia masih bisa “membunuh” pengharapan hidup Ayub dengan membuatnya seputus-asa mungkin terhadap hidup dan Tuhan. Iblis membuat Ayub menjalani hari demi hari dalam kesakitan. Beratnya pergumulan Ayub digambarkan oleh keterkejutan teman-temannya ketika melihat kondisinya.
“Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit.  Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.” (Ayub 2:12-13)
Dua ayat ini mendeskripsikan bahwa pergumulan itu bukan pergumulan biasa. Teman-temannya yang datang untuk menghibur terkejut bukan kepalang. Narator mengatakan mereka menangis dengan suara nyaring. Hati mereka tidak tega melihat penderitaan Ayub yang bukan main beratnya. Penjelasan yang lebih dramatis mengenai respon teman-teman Ayub ini adalah mulut mereka terkunci selama 7 malam. Kelu. Mereka tak mampu berkata apa-apa melihat penderitaan Ayub karena penderitaan itu terlalu berat. Bahkan Ayub bersuara dalam keluh kesah. Dalam keluh kesah di tengah tekanan penderitaan itu Ayub mengutuki hari kelahirannya. Ia menjerit dalam puisi-puisi tersebut. Mengapa ia tidak mati saja pada waktu lahir, mengapa ada buah dada yang menyusuinya, dan sebagainya. Kita dapat melihat betapa berat dan sesaknya penderitaan yang ditanggung Ayub.
Sebagai manusia kita akan bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengizinkan hal ini kepada Ayub. Bukankah dia orang saleh? Bukankah ia setia mengikut Tuhan? Mengapa Tuhan bersikap tidak adil dengan memperlakukan Ayub hingga sampai menderita seperti itu?
Berkat terbesar yang Tuhan berikan bagi orang yang saleh dan setia kepadaNya adalah penyertaan dan pengenalan akan Tuhan. Penyertaan dan pengenalan akan Tuhan selalu memberikan kebahagiaan kepada orang-orang Kristen sejati. Kitab ini membuktikannya.
Kisah Ayub menjadi gambaran yang sangat nyata kalau manusia adalah ciptaan yang luar biasa. Terus terang percakapan Ayub dan semua temannya itu bagi saya sungguh luar biasa. Ternyata pada zaman-zaman awal sudah ada orang-orang yang demikian berhikmat, yang bahkan di era milenium ini belum ada tandingannya. Daniel Webster mengatakan bahwa Kitab Ayub adalah salah satu kitab literatur paling luar biasa yang pernah ada. Hal ini bisa dinilai dari kejeniusan para subyek-subyek yang tertulis di dalamnya saat mengungkapkan pendapat.
ALLAH MAHATAHU DAN MAHABAIK
Adanya penderitaan dalam kehidupan orang beriman bukanlah alasan untuk menyalahkan atau meragukan kemahatahuan dan kemahabaikan Allah. Dalam kemahatahuanNya, Allah sangat tahu apa yang terbaik bagi orang beriman. Dalam kemahatahuan dan kemahabijakanNya itu, Allah tahu bahwa dalam jangka panjang penderitaan akan membawa kebaikan yang lebih besar bagi anak-anak-Nya atau mengakibatkan efektifitas yang lebih besar bagi tergenapinya rencanaNya yang baik dibandingkan dengan tanpa penderitaan.
Pengertian “baik” menurut Allah tidak sama dengan pengertian kita sebagai manusia (bdk. Yes. 55:8-9). “Baik” menurut kita adalah kenyamanan dan kesenangan kita. Sedangkan “baik” menurut Allah adalah pembentukan kita menjadi pribadi-pribadi yang memiliki karakter dan keserupaan dengan Kristus. Rencana/tujuan Allah bagi hidup kita di dunia saat ini bukanlah membuat kita nyaman dan bebas dari penderitaan melainkan mendidik dan melatih kita untuk menjadi pribadi yang dewasa/matang di hadapan-Nya.
Jadi, Allah tetap mahatahu dan mahabaik karena Ia tahu apa yang terbaik bagi orang beriman. Allah tahu bahwa penderitaan justru akan membawa kebaikan yang jauh lebih besar bagi orang-orang beriman, yaitu melatih mereka untuk menjadi pribadi yang dewasa dan serupa dengan Kristus dan mengikutsertakan mereka dalam menggenapi rencana dan tujuan-Nya.

BAGAIMANA KITA MENANGGAPI PENDERITAAN?
Ketika mengalami penderitaan, hal pertama dan terutama yang perlu kita lakukan adalah menyadari bahwa Allah sendiri pernah mengalami penderitaan. Oleh sebab itu, Ia mengerti segala pergumulan kita. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan dan menanggung semua penderitaan di dunia. Setiap kepedihan dan penderitaan yang terjadi dalam sejarah umat manusia, semuanya digulung menjadi satu bola, ditelan oleh Allah, dicerna dan dirasakan sepenuhnya, untuk selamanya. Ketika kita mengalami penderitaan, ingatlah bahwa Allah mengerti setiap pergumulan kita karena Ia sendiri pernah mengalami penderitaan yang hebat ketika Ia hidup sebagai manusia dan menanggung penderitaan salib demi menebus dosa kita (Ibr. 4:15). Ia ikut menangis bersama kita.
Tindakan Allah tidak terikat pada hukum tabur-tuai, yang menganggap bahwa jika hidup saleh dan taat maka akan diberkati, sebaliknya jika hidup berbuat dosa maka akan menderita (bdk. Ayub 4:7-9). Ayub hidup saleh namun Allah malah mengizinkan ia mengalami penderitaan yang hebat. Daripada menuntut penjelasan dari Allah, lebih baik kita menerima penderitaan itu (Ayub 2:10) dan menghadapinya dengan bersukacita/berbahagia (1Ptr. 1:6; 4:13-14; Yak. 1:2) dan memohon kekuatan dari Allah supaya bisa menghadapinya dengan tabah dan sabar. Menerima penderitaan dengan rela dan bersukacita bukan berarti kita pura-pura kuat (munafik) melainkan bersikap apa adanya. Jika ingin menangis, menangislah. Jika memang ada perasaan tidak bisa menerima, bingung, marah dan kecewa kepada Allah, ungkapkanlah itu kepada Allah di dalam doa, tetapi jangan sampai kita menolak Dia dan meninggalkan iman kita.
Menjadikan Allah sebagai sasaran/tujuan dan bukan sarana. Menjadikan Allah sebagai sarana/alat berarti kita meminta Allah memperbaiki situasi hidup kita yang buruk untuk menjadi baik sesuai dengan kehendak dan rencana kita sendiri. Hal ini sama saja dengan memperalat Allah demi mencapai tujuan kita sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita lebih menginginkan kesehatan, keamanan, kekayaan, kesejahteraan dan keinginan-keinginan kita yang lainnya daripada menginginkan pribadi Allah sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita menganggap tujuan Allah adalah memuliakan dan memuaskan manusia.
Sebaliknya, menjadikan Allah sebagai sasaran berarti kita menjadikan Allah sebagai tujuan utama dan pusat hidup kita. Ketika Allah menjadi tujuan hidup kita maka kebahagiaan hidup dan kedamaian hati kita tidak lagi tergantung kepada kelancaran hidup, tubuh yang sehat, kemapanan ekonomi, keberhasilan usaha/pekerjaan, kestabilan hidup melainkan terletak pada pribadi Allah sendiri yang kekal, tidak berubah dan dapat diandalkan. Ketika Allah menjadi pusat hidup maka kebahagiaan hidup tidak lagi bergantung pada situasi-kondisi tetapi pada hubungan kita dengan Tuhan. Sekalipun situasi-kondisi hidup kita buruk, susah dan menderita namun kita tetap memiliki iman dan damai sejahtera yang sejati di dalam hati kita (Hab. 3:17-19; Yoh. 16:33), karena Allah sendirilah yang menjadi sumber kebahagiaan dan damai sejahtera itu.
Mengevaluasi diri dan kehidupan kita. Apakah penderitaan ini disebabkan oleh dosa dan kebodohan kita sendiri yang melanggar firman Allah? Jika ya, maka kita harus segera mengakuinya di hadapan Allah dan bertobat. Kedua, jika bukan karena dosa maka bertanyalah kepada Allah (di dalam doa dan perenungan firman): “Apa yang Engkau ingin kerjakan, apa yang Engkau ingin saya lakukan atau pelajari melalui penderitaan ini?”
Terkadang dalam hidup ini ada masalah yang kelihatan sangat berat, bahkan berlarut-larut yang menguras emosi, tenaga dan pikiran. Tapi nun jauh di masa lalu ada seorang dari Us yang sudah lulus, namanya Ayub. Ayub bukan orang miskin pada awalnya, tetapi ia jatuh begitu parah luar biasa. Kisah Ayub adalah suatu kisah ironi yang sangat menarik dan sarat makna from Hero to Zero dan From Zero to Super Hero (Better than Before) mungkin kita pernah menyaksikan dan sering membaca kisah-kisah cerita negeri dongeng. Ada dilema dan drama tetapi akhirnya bisa berakhir dengan happy ending. Bagi saya pribadi, kisah Ayub adalah kisah yang paling dramatis, dilematis, dan happy ending.
Penderitaan tidak selalu identik dengan buah dari dosa.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.