Hidup itu Seni
Lama tak menulis, banyak kisah
terlewatkan dari kantung blog ini. Sejak Oktober tahun lalu, baru hari ini aku
ingin menulis lagi. Ada beberapa kabar baik, namun ada pula kabar yang kurang menggembirakan
selama kurang lebih satu tahun terakhir.
Kabar baiknya, 8 Juli lalu aku
menikah dengan kekasih hatiku (ciee…). Kami akhirnya bersatu setelah
bertahun-tahun memperjuangkan cinta kami (aish...). Kami berjumpa untuk yang
pertama kali di tahun 2009. Bertahun-tahun setelahnya, hubungan kami mengalami
pasang surut, bahkan sempat ‘bermusuhan’ dan terpisah berkali-kali. Puji Tuhan,
benar kata orang "kalau jodoh tak kan lari ke mana”. (baca: Sang Mahacinta)
Tahun 2015 kami sepakat untuk
kembali menjalin hubungan. Kali ini lebih serius dan kami sama-sama berusaha
untuk memantabkannya. Bulan Februari lalu kami memutuskan untuk bertunangan. Acara
pertunangan sederhana kami laksanakan di rumah orang tuaku di Kediri yang
dihadiri oleh keluarga dekat dan perwakilan orang tuanya. Setelah bertunangan
kami semakin serius memikirkan dan mempersiapkan diri untuk menikah. Kini, kami
berumah tangga, hidup sebagai suami istri di Jakarta; jauh dari orang tuaku di
Kediri; apalagi dari orang tuanya di Manggarai Timur-NTT.
Di tengah kebahagiaan itu, kami
harus ikhlas menerima kabar-kabar sedih yang datang. Awal Agustus lalu, kabar
duka datang dari adik iparku, adik kandung suamiku, di Mano, Manggarai
Timur-NTT. Dia sedang mengandung dan sesuai perkiraan, ia akan melahirkan awal
Agustus. Tibalah saat persalinan, adik iparku dibawa ke RS. Ruteng dan disanalah
keponakan kami lahir. Namun, sayangnya keponakan kami tak dapat bertahan lama.
Sesaat setelah dilahirkan ia meninggal. Kami kecewa dan sangat kehilangan. Keponakan
lucu kami yang belum sempat kami gendong dan cium telah tiada. Di saat-saat
kalut seperti itu, penjelasan medis bagi kami tidak dapat dimasukkan ke dalam
nalar.
Belum habis kesedihan kami, di
saat-saat itu kami juga harus mendengar kabar bahwa kondisi ayah mertuaku
semakin lemah. Dua minggu setelah kepergian keponakan kami, dia juga berpulang.
Begitu dalam duka kami. Rasanya kami tidak percaya. Kami merasa tidak terima
dengan kenyataan kehilangan itu.
Ayah mertuaku biasa dipanggil Pigun, singkatan dari namanya, Pius Gunas. Menurut suamiku, sejak dulu Pigun
jarang sakit. Bahkan tidak pernah sekalipun ke dokter atau masuk Rumah Sakit
untuk berobat atau opname. Baru kali ini sepertinya kondisi Pigun cukup serius.
Setelah kabar meninggalnya keponakan kami, kondisi kesehatan Pigun semakin lemah.
Kami pun dibuat kaget dengan vonis dari dokter yang menyatakan Pigun menderita
penyakit cukup berat. Sementara selama ini Pigun selalu mengatakan bahwa
dirinya baik-baik saja, hanya asam urat dan sulit tidur. Setelah kepergiannya,
kami menyadari bahwa ia tidak ingin membuat kami, anak-anak, sedih atau susah. (baca juga: Pesan Paus Fransiskus Kepada Keluarga)
Hidup memang selalu penuh dinamika.
Dan karena itu, kita harus menjalaninya dengan optimis dan terus berupaya
menuju kebaikan. Hidup tak akan ada artinya lagi bila kita menyerah dan diam.
Hidup bukan hanya sebatas takdir, apalagi beban, hidup itu seni. Seni untuk
menikmati kesedihan, kesulitan dan tantangan; pun seni untuk bangkit dan mengejar
kebahagiaan.
Kini, kami
sedang berusaha menyeka air mata kesedihan sembari mengejar tawa.
Begitulah hidup berjalan.
Post a Comment