Header Ads

Bahasa Manusia Para Teroris

Kamis, 14 Januari 2016. Panas yang menyengat membuat aku dan beberapa rekan se-kantor keluar ruangan. Latpop kecilku juga kubawa keluar. Kami duduk di kantin samping sekolah, tempat kami biasa ngerumpi kala waktu rehat tiba. Sudah menjadi kebiasaan, waktu rehat merupakan waktu yang cukup merdeka untuk berselancar di media sosial. Memang, setelah smarthoneku rusak, laptopku selalu kerja berat untuk memberikan informasi terkini di dunia maya. Dan, aku cukup terenyuh ketika melihat beranda timeline media sosialku yang dibanjiri sejumlah tulisan tentang bom, teroris, ledakan dan penembakan.



"Jakarta?"
"Wah, miris.."Beberapa kepingan berita di media online yang dishare di media sosial coba aku baca. Benar, Indonesia sedang mengalami ancaman teror. Diberitakan, di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat telah terjadi ledakan yang diduga karena bom bunuh diri oleh sekelompok orang. Tak hanya bom bunuh diri, baku tembak antara polisi dan kelompok teroris juga sempat terjadi.
Aku cukup merasakan betapa terancamnya warga Jakarta.

"Thamrin..?" Aku bergumam tiba-tiba
Aku ingat satu hal. Tempat kerja salah seorang sepupuku di Jakarta persis di Kawasan Thamrin. Aku mulai gelisah. Untung saja, lewat percakapan di media sosial beberapa saat setelah membaca berbagai berita, sepupuku memastikan kondisinya aman di Jakarta.

Bell sekolah tiba-tiba berdering. Tanda bahwa semuanya harus kembali melanjutkan kerjanya. Sambil merapikan laptopku, aku masih penasaran dengan situasi pemboman yang terjadi di Jakarta. Semudah itukah teroris melakukan aksinya? Siapa mereka? Bagaimana mereka melakukannya? Sejumlah pertanyaan itu menyeruak didalam pikiranku. Peristiwa pemboman dan penembakan yang baru saja kubaca itu tiba-tiba mengingatkanku akan sebuah tulisan yang pernah kutulis enam tahun lalu. Tulisan itu telah dimuat di Jubileum, salah satu tabloid rohani bulanan milik Keuskupan Surabaya. Meski kasusnya berbeda, namun setidaknya kegelisahanya hampir sama: bahasa manusia para teroris.

Berikut kutipan lengkap tulisanku kala itu....

Belum hilang dalam ingatan kita peristiwa tertembaknya 3 teroris di Pamulang, Banten. Peristiwa ini sedikit mengejutkan sekaligus menggembirakan bangsa Indonesia. Lebih-lebih karena salah satu teroris yang tertembak tersebut adalah Dulmatin. Densus 88 telah berhasil menumpas gembong teroris nomor wahid tersebut. Sejenak Indonesia memang dilegakan dengan keberhasilan ini. Namun, yang masih perlu diingat ialah bahwa ada sekitar 31 nama daftar pencarian orang (DPO) teroris masih berkeliaran di sekitar kita, yang dirilis Kepolisian tanggal 18 Maret 2010.

Siapa yang dapat menjamin bahwa setelah ini tidak akan ada lagi tindakan-tindakan terorisme di Indonesia? Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apa sebenarnya penyebab terjadinya banyak tindakan-tindakan terorisme? Mengapa terkesan begitu mudah para kaum muda dan intelektual menjadi korban pencucian otak terorisme?

Fenomena terorisme selama beberapa tahun terakhir telah begitu meresahkan bangsa Indonesia. Para teroris sering menampakkan diri melalui tindakan-tindakan pengeboman di berbagai tempat. Bahkan, dalam setiap aksi mereka tidak ketinggalan aksi bunuh diri. Parahnya, perilaku semacam ini diyakini para teroris sebagai bentuk jihad yang paling benar. Para perilaku bom bunuh diri sering dijuluki “Calon Pengantin”. Menurut Abu Wildan, teman dekat Noordin M. Top, istilah ini sesuai dengan keyakinan si bomber bahwa mereka akan mati syahid, maka otomatis akan masuk surga dan imbalannya adalah disediakan bagi mereka bidadari-bidadari di surga.

Penulis menduga ini terjadi karena adanya kesalahan dalam membahasakan atau memahami Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya dengan menggunakan bahasa manusia yang kurang tepat. Bahasa manusia yang digunakan dalam mendekati atau memahami Allah menentukan refleksi manusia mengenai Allah. Ada tiga macam bahasa manusia. Pertama, monistis univokal. Pandangan yang dicetuskan oleh Parmenides ini mengatakan bahwa apa yang ada itu sempurna, utuh, bulat, dan dimengerti sebagai satu. Penjelasan univokal berarti segala sesuatu dimengerti sebagai satu kesatuan arti. Jika bahasa ini dipakai untuk memahami Allah, jelas akan terjadi kerancuan makna.

Kedua, pandangan equivokal. Equivokal berarti segala sesuatu dimengerti sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali. Dengan kata lain, segala sesuatu dimengerti secara berbeda-beda. Maka Allah jelas tidak akan bisa dipahami karena pemahaman tentang Allah berbeda-beda, tidak akan sama. Pandangan ini diusung oleh Haraklitos.

Ketiga, pandangan analogal. Analog berarti ada perbedaaan sekaligus persamaan, akan tetapi tidak separuh sama separuh berbeda. Contoh: ‘matahari sedang muram’; menandakan bahwa kondisi cuaca sedang mendung. Atau misalkan ‘langit sedang tersenyum’; mengartikan hari cerah, tidak hujan atau mendung. Untuk dapat mengungkapkan Allah yang begitu baik dan selalu menuntun manusia, orang dapat berkata “Tuhan adalah gembalaku”. Ini sangat analogal. Tuhan bukanlah seorang yang pakai tongkat dan selalu pergi ke padang rumput sambil menggiring kambing.

Jangan-jangan, selama ini bahasa manusia yang dimiliki para terorisme adalah bahasa univokal. Konsekuensi pemahaman univokal untuk memahami Allah ini tentu saja tidak mencukupi. Realita Allah yang begitu besar dan luas tidak bisa disempitkan hanya dalam satu kata. Bila pandangan ini yang dipakai, maka akan sangat berbahaya sekali untuk memahami kata-kata “Laskar Tuhan”. Kata ‘laskar’ dimengerti sebagai barisan pelindung, pembawa senjata, menembak musuh, dsb. Padahal Allah tidak memerlukan siapapun atau apapun untuk “membela”-Nya. Ia tidak membutuhkan pembelaan. Siapa sih manusia hingga ia bisa membela Allah?

Bisa dibayangkan bila semua orang beragama mengartikan Kitab Suci ataupun ajaran-ajaran agama secara mentah dan asal telan seperti ini. Jangan-jangan nanti akan banyak sekali umat yang berjihad dengan bunuh diri?

Dari sinilah dapat saya katakan bahwa sikap fanatisme yang terlalu keras ini justru menunjukkan kepicikan dan kebodohan orang dalam beragama. Lebih parah lagi tidak beriman. Untuk itu, saya mengajak semua orang untuk menjadi cerdas dalam beragama. Sikap dasar yang harus dimiliki seseorang untuk beragama adalah rendah hati dan tidak main mutlak-mutlakan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.